top of page

Sejarah

Sejarah DJP

Direktorat Jenderal Pajak (disingkat DJP) adalah salah satu direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.

Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu :

  • Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah;

  • Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara;

  • Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak Badan; dan

  • Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter) yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).

Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Pada tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar Ipeda diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB.

Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak (ItDa) yaitu di Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini kemudian menjadi Kanwil Ditjen Pajak (Kantor Wilayah) seperti yang ada sekarang ini.

  • 1924 – Djawatan Padjak di bawah Departemen Van Financien berdasar Staatsblad 1924 No. 576 Artikel 3

  • 1942 – Djawatan Padjak di bawah Zaimubu (Djawatan Padjak, Bea Cukai dan Padjak Hasil Bumi)

  • 1945 – berdasarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD Urusan Bea ditangani Departemen Keuangan Bahagian Padjak

  • 1950 – Djawatan Padjak di bawah Direktur Iuran Negara

  • 1958 – Djawatan Padjak di bawah vertikal langsung Departemen Keuangan

  • 1964 – Djawatan Padjak berubah menjadi Direktorat Pajak di bawah pimpinan Menteri Urusan Pendapatan Negara

  • 1965 – Direktorat IPEDA di bawah Ditjen Moneter

  • 1966 – Direktorat Padjak diubah menjadi Direktorat Jenderal Pajak

  • 1976 – Direktorat IPEDA dialihkan Ke Direktorat Jenderal Pajak

  • 1983 – Tax Reform I berlakunya Self Assesment

  • 1985 – IPEDA berganti nama menjadi Direktorat PBB

  • 2000 – Tax Reform II

  • 2002 – Modernisasi Birokrasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan institusi penting di negara ini dimana saat ini dipercaya mengumpulkan sekitar 80% dari dana APBN, ternyata mempunyai sejarah panjang sejak sebelum proklamasi kemerdekaan RI. Sejarah singkat DJP terbagi dalam beberapa periode sebagai berikut:

Pra Proklamasi Kemerdekaan RI

Pada zaman penjajahan Belanda, tugas pemerintahan dalam bidang moneter dilaksanakan oleh Departemen Van Financien dengan dasar hukumnya yaitu Staatsblad 1924 Number 576, Artikel 3.

Pada masa penguasaan Jepang, Departemen Van Financien diubah namanya menjadi Zaimubu. Djawatan-djawatan yang mengurus penghasilan negara seperti Djawatan Bea Cukai, Djawatan Padjak, serta Djawatan Padjak Hasil Bumi. Ketiganya digabungkan dan berada di bawah seorang pimpinan dengan nama Syusekatjo.

Periode 1945-1959

Maklumat Menteri Keuangan Nomor 1 Tanggal 5 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa seluruh Undang-undang atau peraturan tentang perbendaharaan Keuangan Negara, pajak, lelang, bea dan cukai, pengadaan candu dan garam tetap menggunakan Undang-Undang atau peraturan yang ada sebelumnya sampai dengan dikeluarkannya peraturan yang baru dari pemerintah Indonesia. Sedangkan Penetapan Pemerintah tanggal 7 Nopember 1945 No. 2/S.D. memutuskan bahwa urusan bea ditangani Departemen Keuangan Bahagian Padjak mulai tanggal 1 Nopember 1945 sesuai dengan Putusan Menteri Keuangan tanggal 31 Oktober 1945 No. B.01/1.

Akhir tahun 1951 Kementerian Keuangan mengadakan perubahan dimana Djawatan Padjak, Djawatan Bea dan Cukai dan Djawatan Padjak Bumi berada di bawah koordinasi Direktur Iuran Negara.

Periode 1960-1994

Tahun 1964 Djawatan Padjak diubah menjadi Direktorat Pajak yang berada di bawah pimpinan Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara. Kemudian pada tahun 1966 berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 75/U/KEP/11/1966 tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen-Departemen, Direktorat Padjak diubah menjadi Direktorat Djenderal Padjak yang membawahi Sekretariat Direktorat Djenderal, Direktorat Padjak Langsung, Direktorat Padjak Tidak Langsung, Direktorat Perentjanaan dan Pengusutan,dan Direktorat Pembinaan Wilayah.

Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas DJP sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan di bidang perpajakan;

b. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;

c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;

d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan

e. pelaksanaan administrasi DJP.

Logo

 

Direktorat Jenderal Pajak memiliki Lambang atau logo yang dipergunakan sebagai simbol internal ber-"seal" CAKTI BUDDHI BHAKTI Ini diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti : Dengan segala kekuatan, tenaga, dan fikiran dan dengan budi yang luhur, kami berbakti kepada Negara.

Sedangkan arti secara keseluruhan : Direktorat Jenderal Pajak sebagai aparatur Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila mempunyai tugas dalam bidang Perpajakan dan dalam melaksanakan fungsinya memungut dan memasukkan pajak ke dalam Kas Negara berusaha dengan segala daya upaya agar fungsi pajak baik budgeter maupun mengatur dapat terlaksana sebaik-baiknya berdasarkan Tridharma Pemajakan dengan memperhatikan tingkat conyunctuur guna mencapai masyarakat adil dan maknur, materiil dan spirituil, sesuai dengan tujuan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Deskripsi logo

  1. Perisai berbentuk segi lima : melukiskan Negara Pancasila Republik Indonesia.

  2. Sayap berkembang yang berbulu lima menunjukkan kemegahan Negara, sebagai pendorong para pegawai Direktorat Jenderal Pajak menjalankan tugasnya dengan bertujuan memelihara tetap berkembangnya sayap Negara.

  3. Bejana emas melambangkan tempat pengumpulan uang negara (fiscus).

  4. (a).Libra melukiskan keadilan. (b).Padi tujuh belas butir dan delapan kelompok bunga kapas melukiskan cita-cita kemakmuran Negara.

  5. Tiga gelombang melukiskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Tridharma Pemajakan yaitu:

(a). meliputi seluruh subjek pajak. (b). objek pajak yang semestinya. (c). tepat pada waktunya. Gelombang diartikan bahwa fiskus mengatur dan memperlunak conyunctuur.

Daftar Unit Kerja Kantor Pusat dan Unit Vertikal Direktorat Jenderal Pajak

Tahun 1988 Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari satu sekretariat, 6 Direktorat dan 2 Pusat. Kemudian pada tahun 1994 Kantor Direktorat Jenderal Pajak terdiri dari 1 Sekretariat dan 8 Direktorat. Terakhir pada Desember 2006 berdasarkan PMK 131/PMK.01/2006, susunan organisasi Kantor Pusat DJP berubah kembali,terdiri dari 1 Sekretariat dan 15 Direktorat dan 1 Pusat yang dipimpin pejabat eselon II a yaitu :

  1. Sekretariat Direktorat Jenderal,

  2. Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan,

  3. Direktorat Peraturan Perpajakan I

  4. Direktorat Peraturan Perpajakan II,

  5. Direktorat Keberatan dan Banding,

  6. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian,

  7. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan,

  8. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat,

  9. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan,

  10. Direktorat Penegakan Hukum,

  11. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi Informasi,

  12. Direktorat Transformasi Proses Bisnis.

  13. Direktorat Kepatuhan Internal& Transformasi Sumber Daya Aparatur,

  14. Direktorat Intelijen Perpajakan,

  15. Direktorat Perpajakan Internasional,

  16. Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan

Selain itu terdapat juga 4 Tenaga Pengkaji, yaitu :

  1. Tenaga Pengkaji bidang Pelayanan Perpajakan

  2. Tenaga Pengkaji bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Perpajakan

  3. Tenaga Pengkaji bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Perpajakan

  4. Tenaga Pengkaji bidang Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia

Sedangkan unit kerja vertikal di daerah meliputi Kantor Wilayah DJP, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Saat ini terdapat 33 Kantor Wilayah DJP di seluruh Indonesia, yang dipimpin pejabat eselon II a, yaitu :

  1. Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, di Jakarta

  2. Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, di Jakarta

  3. Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat, di Jakarta

  4. Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, di Jakarta

  5. Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan I, di Jakarta

  6. Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II, di Jakarta

  7. Kantor Wilayah DJP Jakarta Timur, di Jakarta

  8. Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara, di Jakarta

  9. Kantor Wilayah DJP Aceh, di Banda Aceh

  10. Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I, di Medan

  11. Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara II, di Pematang Siantar

  12. Kantor Wilayah DJP Riau dan Kepulauan Riau, di Pekanbaru

  13. Kantor Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi, di Padang

  14. Kantor Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, di Palembang

  15. Kantor Wilayah DJP Bengkulu dan Lampung, di Bandar Lampung

  16. Kantor Wilayah DJP Banten, di Serang

  17. Kantor Wilayah DJP Jawa Barat I, di Bandung

  18. Kantor Wilayah DJP Jawa Barat II, di Bekasi

  19. Kantor Wilayah DJP Jawa Barat III, di Bogor

  20. Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I, di Semarang

  21. Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II, di Surakarta

  22. Kantor Wilayah DJP DI Yogyakarta, di Yogyakarta

  23. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur I, di Surabaya

  24. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II, di Sidoarjo

  25. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III, di Malang

  26. Kantor Wilayah DJP Bali, di Denpasar

  27. Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara, di Mataram

  28. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat, di Pontianak

  29. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah, di Banjarmasin

  30. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur dan Utara, di Balikpapan

  31. Kantor Wilayah DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara, di Makassar

  32. Kantor Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo dan Maluku Utara, di Manado

  33. Kantor Wilayah DJP Papua dan Maluku, di Jayapura

Daftar Direktur Jenderal Pajak

 

Empat Belas Juli, Awal Sejarah Reformasi Perpajakan

Tanggal 14 Juli telah ditetapkan sebagai hari Pajak melalui KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017. Bukan tanpa alasan tanggal tersebut yang dipilih. Tanggal 14 Juli 1945 merupakan salah satu tanggal bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), kata pajak pertama kali didudukkan dalam tatanan rancangan Undang-Undang Dasar.

Sejak Indonesia merdeka, perpajakan sudah menjadi salah satu pilar dalam perekonomian negara. Dan selama itu pula, perpajakan ikut berbenah dari dekade ke dekade, mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Reformasi secara umum adalah perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.

Tercatat, terdapat lima Reformasi perpajakan yang sudah dan sedang dilalui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Reformasi Undang-Undang Perpajakan

Tahun 1983, Reformasi Perpajakan pertama kali bergulir dengan nama Reformasi Undang-Undang Perpajakan.

Kenapa disebut sebagai reformasi undang-undang perpajakan?

Karena pada tahun 1983, terbit lima undang-undang baru yang berdampak luas pada wajah perpajakan di Indonesia. Kelima undang-undang baru tersebut mengakibatkan undang-undang sebelumnya yang merupakan produk kolonial Belanda menjadi tidak berlaku.

Kelima undang-undang yang diterbitkan kala itu adalah UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Melalui undang-undang tersebut, lahirlah sebuah sistem perpajakan baru, yaitu self assesment system.

Pada era tahun 1991 hingga tahun 2000 dilakukanlah Reformasi Undang-Undang Perpajakan lanjutan yang menitikberatkan pada penyederhanaan jenis pajak.  Lebih tepatnya pada tahun 1994, terbit empat undang-undang yang merupakan perubahan dari undang-undang yang telah terbit sebelumnya di tahun 1983. Selanjutnya di tahun 1997, terbit 5 undang-undang baru lagi yang melengkapi khasanah perpajakan di Indonesia.

Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi dimulai pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001 dalam rangka persiapan menghadapi Reformasi Perpajakan Jilid I. Pada tahun tersebut, dilakukan penetapan visi dan misi serta blueprint Reformasi Perpajakan Jilid I

Reformasi Perpajakan Jilid I

Reformasi perpajakan ini dimulai pada tahun 2002 hingga tahun 2008. Pelayanan satu atap (One stop services) menjadi produk yang diunggulkan dan membawa dampak perubahan yang signifikan dalam modernisasi organisasi perpajakan. Modernisasi Kantor Pelayanan Pajak dimulai dengan dibentuknya 2 KPP Wajib Pajak Besar, 10 KPP Khusus, 32 KPP Madya, dan 357 KPP Pratama di seluruh Indonesia.

Reformasi Perpajakan Jilid II

Berlangsung dari tahun 2009 hingga tahun 2014, Reformasi ini menitikberatkan pada peningkatan internal kontrol DJP dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mereformasi proses bisnis, dan teknologi informasi. Dibuatlah Standar Operating Procedure (SOP) pelayanan perpajakan untuk memberikan panduan baku dalam pelayanan. Produk yang terkenal saat itu adalah 16 layanan unggulan DJP yang salah satunya  mengusung janji pembuatan NPWP 1 hari kerja.

Reformasi Perpajakan Jilid III

Reformasi ini telah digulirkan sejak tahun 2017 dan memiliki target  hingga tahun 2024. Reformasi Perpajakan yang terjadi sekarang ini, adalah reformasi terbesar dalam sejarah karena melibatkan perubahan dalam lima pilar utama, yaitu organisasi, SDM, IT dan Basis Data, Proses Bisnis, dan Peraturan Perpajakan. Pada akhir tahun 2020, diharapkan reformasi terkait organisasi, SDM, dan peraturan telah rampung. Sedangkan untuk IT dan Basis Data serta Proses Bisnis, terus melaju pada tahap pengembangan, support dan perbaikan hingga tahun 2024. 

Reformasi jilid III  ini berada pada momentum terbaiknya yaitu tepat diusung setelah berakhirnya program Tax Amnesty. Perhatian dan kepercayaan wajib pajak sedang tertuju penuh pada keberhasilan program Tax Amnesty dan publik menunggu proses besar lanjutannya. Dengan pertaruhan itu, Reformasi perpajakan jilid III ini harus berhasil dijalankan untuk menjadi institusi perpajakan yang lebih kuat, kredibel dan akuntabel.

Mengapa hal ini perlu dilakukan?

Salah satu alasan utama adalah karena adanya perkembangan ekonomi digital, dan perkembangan ekonomi global yang terus dinamis sesuai perkembangan zaman. Selain itu basis data yang dimiliki oleh DJP sudah semakin besar dengan adanya Tax Amnesty dan program Automatic Exchange of Information (AEoI).  Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa DJP perlu kembali berbenah. Sebuah harapan besar tersemat pada reformasi perpajakan kali ini. Selain DJP diharapkan dapat bertransformasi menjadi organisasi yang lebih baik, DJP juga harus dapat meningkatkan rasio pajak dan kepatuhan wajib pajak  sehingga menghasilkan penerimaan negara yang optimal.

Reformasi perpajakan jilid III belum berakhir. Sejarah masih terus mencatat proses dan menunggu hasil reformasi perpajakan terbesar di Indonesia ini. 

Jika sejarah telah mengambil bagiannya, lalu dimana posisi kita?

Kitalah bagian dari perjuangan itu, sebagai pelaku sejarah.

TAX CENTER UNISMA

Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) unisma dilengkapi fasilitas tax centre yang bekerjasama dengan kanwil DJP Jatim III (15/11/2018). Selain itu dilakukan MoU antara Kanwil dengan Rektor Unisma, Prof. Dr. Masykuri Msi.

“segera eksyen saja setelah MoU ini,” pinta Masykuri di acara itu. Dengan makin lengkap fasilitas di fakultas, ia yakin akan menambah kompetensi mahasiswa FEB Unisma sehingga bisa bersaing dengan alumni kampus lainnya.

Karena termasuk ekspansif bekerja sama dengan pihak lain, rektor berharap FEB bisa leading dulu di antara fakultas lain di Unisma untuk ikut akreditasi tingkat ASEAN. Dekan FEB, Nur Diana SE, Msi mengatakan tax centre akan menjadi pusat perpajakan, pusat penyuluhan sosialisasi perpajakan di ligkungan kampus. Juga sebagai  pelayanan pajak bagi masyarakat sekitar kampis. Bagi mahasiswa bisa sebagai laboratorium untuk mengembangkan bidang ilmu perpajakan. “misalnya, mengisi SPT melalui aplikasi e-filling dan sebagainya.”

Eko Budi Hartono SE MM, kabid P2 dan Humas Kanwil DJP Jatim III menjadi narasumber di seminar ekonomi usai MoU. Dikatakan, peran dunia pendidikan mulai dari SD sampai perguruan tinggi penting untuk ikut meningkatkan kesadaran dalam membayar pajak. “sebab pajak berperan penting dalam kelangsungan pembangunan”. Tahun ini dari pajka diperkirakan Rp 1800 T. Sedang untuk biaya belanja negara sebesar Rp 2200 T. Karena ada defisit atau minus, maka pembiayaan dibantu dengan hutang dan hasil investasi.

bottom of page